Dalam satu kantor, biasanya terdapat karyawan dengan range umur bervariasi, tak jarang malah berasal dari generasi yang berbeda. Ini menimbulkan sebuah kesenjangan generasi yang biasa disebut dengan Generation Gap.
Bukankah hal yang wajar jika karyawan punya umur berbeda-beda? Memangnya apa sih pengaruh generation gap pada kegiatan kerja di kantor?
Banyak penelitian yang sudah dilakukan menemukan banyak fakta menarik tentang implikasi generation gap dan kegiatan kerja di kantor. Sekarang ini, pada posisi manajer ke bawah misalnya, kebanyakan diisi oleh karyawan yang berasal dari Generasi X (1965-1976), Generasi Y (1977-1990), dan Millenial (lahir mulai 1991). Tiga generasi yang bekerja berdampingan ini berpotensi mengalami konflik di kantor yang diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan mereka.
Gaya Komunikasi
Gen X memang sudah cukup familiar dengan teknologi, namun teknologi belum menjadi pilihan berkomunikasi utama. Walaupun sudah beradaptasi dengan teknologi, Gen X masih menganggap teknologi merupakan fasilitas pelengkap dan masih mengandalkan pertemuan tatap muka sebagai sarana utama dalam berkomunikasi secara formal.
Gen Y dan Millenial sudah menjadikan teknologi sebagai bagian hidup mereka sehari-hari. Mereka tumbuh dengan penggunaan teknologi yang advanced sehingga hampir tidak ada bedanya bagi Gen Y dan Millenial antara komunikasi langsung (tatap muka) dengan komunikasi yang memanfaatkan teknologi sebagai media, misalnya via panggilan suara, panggilan video, atau pesan teks.
Dua gaya komunikasi yang berbeda ini bisa menjadi sumber masalah terutama saat interaksi atasan dan bawahan terjadi cukup sering. Keluhan yang santer terdengar mengenai millenial dan Gen Y adalah gaya komunikasi mereka yang terlalu santai sehingga membuat atasan mereka yang mungkin berbeda generasi merasa kurang dihargai.
Penyesuaian metode komunikasi bisa menjadi solusi terhadap hal ini, misalnya dengan melakukan meeting-meeting rutin dengan lebih fleksibel, tapi tetap menjalankan meeting penting secara tatap muka di kantor. Penyesuaian metode komunikasi ini membutuhkan skill berkomunikasi efektif, terutama bagi atasan yang tidak terbiasa memimpin meeting yang produktif. Bagi millenials, skill komunikasi persuasif dibutuhkan khususnya saat mereka harus menjual ide-ide baru kepada atasannya. Ide inovatif yang muncul harus dapat disampaikan dengan apik agar tidak ditolak mentah-mentah karena penyampaian yang kurang tepat.
Gaya Kerja
Gen X dikenal sebagai generasi yang kuat dan tahan banting. Mereka cukup independen dan relatif cepat beradaptasi. Dengan gaya kerja seperti ini, Gen X rata-rata paling efektif bekerja fokus sendiri tanpa gangguan.
Berbeda dengan pendahulunya, Gen Y adalah generasi yang cerdik dan sering mempertanyakan otoritas. Gen Y suka melakukan sesuatu dengan caranya sendiri asal dengan batas dan panduan yang jelas. Gen Y juga cenderung lebih mudah menunjukkan rasa hormat pada orang yang mereka anggap lebih capable dari mereka ketimbang hanya menghormati seseorang karena jabatannya semata.
Millenial lebih mengagungkan perkembangan diri ketimbang kebanggaan yang dianggap semu seperti nama perusahaan yang besar atau stabilitas pemasukan. Dengan kelebihan multitasking dan kolaborasi yang dimilikinya, millenial mampu bertahan di kehidupan mereka yang dituntut serba cepat. Bagi millenial, tujuan besar yang menurut mereka mulia dan berharga jauh lebih penting dibandingkan gaji yang besar. Kesempatan pelatihan merupakan insentif sehingga menjadi kewajiban bagi perusahaan tempat mereka bekerja.
Menghadapi gaya kerja yang berbeda ini memang susah susah gampang. Atasan harus dulu selesai dengan dirinya sendiri untuk dapat mengakomodir kelompok kerja tanpa egois mementingkan diri sendiri. Hal ini berarti skill self leadership wajib dimiliki oleh atasan sebelum mengembangkan skill team leadershipnya.
Mulai menghidupkan kultur kantor yang saling menghargai satu sama lain dapat menjadi pijakan pertama dalam mengelola kelompok dengan anggota berbegai generasi. Gen X ingin dihargai karena kemampuan dan pengalaman mereka, sedangkan Gen Y dan Millenial ingin dihargai karena kontribusi dan ide-ide mereka bagi perusahaan.
Kedua hal tersebut adalah hal yang sah-sah saja mendapatkan apresiasi di kantor, artinya tidak ada satu yang lebih baik dibanding lainnya.
Selain kultur kantor yang sehat, mentoring dapat menjadi solusi yang dapat dilakukan untuk menghadapi situasi ini. Mentoring tak hanya jadi kesempatan belajar antar generasi, tapi juga menjadi kesempatan untuk saling memahami secara personal. Dengan cara ini, interaksi yang terjalin akan lebih intens dan umpan balik pun lebih mudah didapatkan untuk kedua pihak. Bagi generasi yang lebih senior, mentoring adalah saatnya mereka mendapatkan ide-ide baru yang kreatif. Sedangkan bagi millenial, mentoring akan membantu mereka untuk menjalin relasi dengan atasan dan mengembangkan diri melalui feedback yang konstruktif.
Jadilah atasan yang paham gaya bawahannya dan mampu memberikan feedback bagi perkembangan mereka merupakan salah satu poin utama dalam pelatihan leadership, Winning Leader Winning Team yang dikembangkan oleh Iskandar Setionegoro dan Martin William.
Sumber:
https://www.deputy.com/blog/the-generation-gap-how-to-bridge-the-gap-in-the-workplace
https://www.monster.com/career-advice/article/workplace-generation-gap
https://economictimes.indiatimes.com/jobs/five-ways-to-approach-generation-gap-in-the-workplace/articleshow/64746664.cms
Sumber gambar:
https://www.pexels.com/photo/photo-of-group-of-people-discussing-1559045/
https://www.pexels.com/photo/six-woman-standing-and-siting-inside-the-room-1181622/
https://www.pexels.com/photo/apple-device-cellphone-communication-device-594452/
https://www.pexels.com/photo/adult-beard-beverage-blur-551652/
Comments